Hukuman Mati dan Intervensi

Hai sobat blogger
kali ini blog Lebih Cinta Indonesia akan berbagi ke sobat blogger tulisan saya yang dimuat di salah satu media cetak yaitu Harian Analisa pada
Selasa, 24 Februari 2015 dengan judul "Hukuman Mati dan Intervensi". tulisan ini terinspirasi dari ekspresi kekecawaan rakyat indonesia terhadap sikap inkonsistensi pemerintah dalam menanggapi kasus Bali Nine...
Selamat membaca.... 

Opini Harian Analisan Selasa, 24 Februari 2015

Hukuman Mati dan Intervensi


Oleh: Rizki Fahrian. Melihat permasalahan Narkoba (Nar­kotika, Psikotropika dan zat-zat adiktif lain­nya) di republik ini yang semakin me­­rajalela, sudah sepatutnya kita mem­berikan perhatian ekstra. Zat-zat adiktif yang awalnya diciptakan untuk kepenti­ngan dunia medis telah beralih fungsi dengan disalahgunakan untuk mempe­ro­leh efek anti depresi bagi setiap peng­gu­nanya bila digunakan dalam dosis ter­tentu.
Narkoba tak lagi mengenal strata sosial, profesi, umur dan gender. Ia seakan telah merambah ke segela lapisan tanpa ada batasan.  Kini di Indonesia terdapat 5 juta pengguna narkoba, dan 2 juta jiwa diantaranya dalam keadaan ketergantungan parah sehingga tidak bisa lagi direhabilitasi. Maka bila dikal­ku­la­sikan, bila pecandu sabu-sabu mem­bu­tuhkan satu gram per hari, artinya ada 5 ton sabu per hari yang beredar. Dan dari sejumlah fakta yang ditemukan bahwa dari 5 juta pengguna narkoba, sekitar 40-50 orang tewas setiap harinya. (cnn­indo­nesia.com, 20/01/2015)
Melihat fakta tersebut sangat wajar bila saat ini Indonesia masuk dalam fase darurat bahaya narkoba dan butuh ke­se­riusan penuh untuk menang­gulangi ma­salah ini. Meskipun dalam beberapa ka­sus melalui para aparat penegak hukum upaya untuk penyeludupan narkoba ke In­donesia dapat digagalkan, namun ba­rang haram tersebut tetap saja masih bisa di­temui. Dengan berbagai cara dan mo­dus baru bahkan terkadang tidak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran kita cara tersebut dapat dilakukan. Hal ini tentunya sebanding, karena kegiatan ini telah menjadi bisnis yang menggiurkan sekaligus menjanjikan.
Melihat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan teridiri atas ke­pulauan memberi ruang gerak yang cu­kup bagi para bandar dan pengedar untuk me­lakukan mobilitas transaksi yang em­puk. Di tambah lagi, adanya ban­­tuan dari beberapa oknum WNI yang ber­sedia menjadi kurir dengan iming-iming umpah selangit. Meskipun masih banyak praktek penjualan barang haram tersebut yang “kecolongan” dari perha­tian aparat penegak hukum, namun tidak se­dikit pula  kasus yang berhasil di­ta­ngani.
Bali Nine
Salah satuya adalah kasus yang di­kenal dengan sebutan “Bali Nine” yang kini sedang hangat diperbincang­kan. Ka­sus ini bermula ketika sekelompok warga negara Australia yang terdiri atas 9 orang mencoba untuk menyeludupkan 8,3 Kg heroin ke Bali melalui jalur udara. Na­­mun aksi mereka tidak berjalan de­ngan mulus karena petugas telah men­cium gerak-gerik yang mencu­ri­gakan. Ber­dasarkan penemuan alat bukti ter­sebut, mereka dibekuk di bandara Ngurah Rai, Bali, pada April 2005.
Kasus ini berlanjut di persidangan meja hijau yang berbuntut pada dijatuh­kan­nya vonis hukuman mati terhadap 2 orang diantara 9 terpidana lainnya. Su­ku­maran dan Andrew Chan divonis mati atas perbuatannya pada tahun 2006. Na­mun kasus ini tak kunjung usai, karena para terpidana tersebut merasa diper­lakukan tidak adil dan terus berupaya untuk melakukan memperoleh keadilan melalui upaya banding, kasasi, bahkan sam­pai upaya peninjauan kembali. Namun dari kesemua upaya hukum tersebut tak satu pun berbuah manis, upaya hukum yang diajukan ditolak.
Penolakan Grasi
Setelah berbagai upaya telah dilaku­kan, namun juga tak merasa mendapatkan keadilan tidak membuat para terpidana ber­­henti berupaya. Sebagai upaya te­ra­khir, mereka mengajukan permoho­nan grasi kepada Presiden Republik Indo­ne­sia. Secara sederhana, dapat kita pa­hami bah­wa grasi sendiri adalah hak pre­siden untuk memberikan ampunan ter­hadap para terpidana dengan pertim­ba­ngan dan alasan yang kuat.
Permohonan grasi pun sampai ke ta­ngan presiden. Dan akhirnya beliau mengambil sikap untuk tidak memberi­kan ampunan terhadap para terpidana tersebut. Patut diapresiasi, sikap yang be­liau pilih. Beliau, tegas mengatakan bah­wasanya tidak memberi ampun ter­hadap para bandar dan pengedar narkoba. Setelah penolakan tersebut, maka dapat dipastikan Sukumaran dan Chan akan dieksekusi sesuai dengan putusan yang telah dijatuhi terhadap mereka.
Berbagai Intervensi
Setelah Presiden Jokowi  menan­da­tangani penolakan grasi terhadap para ter­pidana kasus narkoba tersebut, sontak men­datangkan kemarahan, tentangan bah­kan dalam bentuk ancaman dan Inter­vensi yang disampaikan melalui media. Hal ini langsung disampaikan oleh Perdana Menteri Australia, Tony Abott.
Sebagai upaya untuk melindungi warga negaranya, dalam salah satu jumpa pers ia menyatakan, untuk memper­tim­bangkan kembali kepu­tusan yang diambil oleh pemerintah Indonesia mengeksekusi dua warga negaranya. Menurut Abott, ma­sih ada cara lain selain hukuman mati yang dapat diberikan terhadap para terpidana kasus narkoba.
Desakan untuk tidak melaksanakan ek­sekusi mati juga digulingkan dengan beberapa ancaman dari pemerintah Australia. Mulai dari upaya menarik Duta Besar Australia dari jakarta dan iklim buruk di bidang inventasi perekonomian.
Menteri Luar Negeri Australia Julia Bis­hop juga turut angka bicara. Ia me­ngatakan bisa menggiring opini publik agar warga Australia tidak berwisata ke In­donesia terkhusus bali yang selalu men­jadi pilihan utama berlibur warga ne­garanya. Aksi ini mulai ramai di­per­bincangkan di dunia maya melalui je­jaring sosial twitter dengan ajakan “Boi­kot Bali”. Bahkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-moon, meminta Indonesia mem­batalkan pelaksanaan hukuman mati atas sejumlah terpidana mati ter­ma­suk dua warga negara Australia.
Empati yang Tidak Tepat
Melihat sikap yang diambil oleh per­dana menteri Australia, Meskipun be­berapa kalangan menyatakan bahwa itu adalah hal yang wajar sebagai bentuk pem­­belaan dan perlindungan terdapat hak hidup warga negaranya namun hal ini terkesan pemerintahan Australia tidak sedikitpun menghargai hukum yang berlaku di Indonesia.
Terlebih lagi sikap yang diambil oleh Ban Ki-moon, penulis sependapat dengan  kritik yang disampaikan oleh Guru besar Hu­kum Internasional Universitas In­do­ne­sia, Hikmahanto Juwana. Menurut be­liau, Ban Ki-moon cenderung melaku­kan intervensi dan membela negara-ne­gara maju di PBB. Hal ini sangat berdasar; pertama, dimanakah beliau ketika Rumiyati yang harus menjalani hukuman mati di Arab Saudi ? ; kedua, beliau tidak sadar banyak orang mati karena ketergan­tungan narkoba, dimanakah suara beliau terhadap suara korban ? mengapa beliau berempati terhadap pelaku tetapi tidak pada korban ? (Tribunnews.com, 15/2/2015).
Seakan tak Mempunyai Martabat
Dunia seakan berlaku pilih kasih, me­ngapa hanya Indonesia yang diperla­ku­­kan seperti tidak memiliki marwah un­tuk menegakkan hukum, sementara ma­­sih banyak negara yang menerapkan hu­kuman mati terhadap beberapa kasus pi­­dana. Dengan mudahnya mereka me­la­­kukan intervensi bahkan berupa an­ca­man. Mungkinkah penegakan hukum kita masih setengah hati ? Dan hukum da­pat dibeli ? atau mungkin dari beberapa ka­sus terakhir kita dinilai takut menegak­kan hukum dengan gertakkan dan an­ca­man?
Berbicara tentang penegakan HAM bukankah langkah ini ditujukan untuk memperjuangkan Hak asasi warga negara Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa dari bahaya narkoba. Sesuia bunyi pembukaan UUDNRI Tahun 1945 untuk melin­dungi setiap tumpah darah Indonesia.
Semoga kedepannya permasalahan penegakan hukum di Indonesia dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya menurut hukum. Dengan harapaan bahwa Indonesia sejatinya adalah negara hukum secara aplikatif bukan hanya sebagai teori. ***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan PPKn Universitas Negeri Medan

Semoga bermanfaat

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Hukuman Mati dan Intervensi"

Post a Comment